REVOLUSI INDUSTRI 4.0, DESA SEMAKIN MENJADI SUBJEK ATAU OBJEK?

REVOLUSI INDUSTRI 4.0, DESA SEMAKIN MENJADI SUBJEK ATAU OBJEK?


Kebanyakan orang memahami desa sebagai tempat dimana bermukim penduduk dengan peradaban yang lebih keterbelakang ketimbang kota. Biasanya dicirikan dengan bahasa ibu yang kental, tingkat pendidikan yang relative rendah, mata pencaharian yang umumnya dari sektor pertanian. Bahkan terdapat kesan kuat, bahwa pemahaman umum memandang desa sebagai tempat bermukim para petani. Banyak pandangan tentang desa bahkan cendrung merendahkan posisi desa itu sendiri tanpa melihat lebih jauh akan hakikat desa itu sendiri.

Desa bukan hanya saja sebagai tempat tinggal, melainkan juga sebagai tempat dengan sejuta kekayaan yang tersimpan didalamnya. Kekayan-kekayaan yang tersembunyi dalam desa apabila digali potensinya maka ketubutan penduduk desa akan terpenuhi sepenuhnya.

Tren yang dikembangkan dalam membangun desa adalah desa yang berdaya, desa yang membangun dan memenuhi kebutuhan penduduk didalamanya.  Namun sangat disayangkan ketika potensi yang tersimpan belum dapat dikelola dengan baik oleh penduduk desa.
Seiring berkembangnya teknologi dari generasi kegenerasi permasalah desa belum teratasi, masih saja desa terlihat sebagai tempat yang kumuh dan tidak dapat menjadi tempat sandaran bagi penduduknya, lantas apakah desanya yang salah? Atau pandangan dan kesiapan peduduk yang terlalu kecil dalam melihat desa?. Dua pertanyaan besar ini yang seharusnya menjadi titik fokus dalam pengkajian desa demi menggali potensi-potensi yang terpendam lalu memberikan pengertian kepada penduduk desa guna dapat membuka pandangan untuk melihat potensi-potensi yang tersimpan di desa itu.

Saat ini desa mendapat tantangan baru, tantangan yang mampu membelenggu desa dan isinya akan perkembangan industri yang saat ini mencapai revolusi industri 4.0, maka dalam tantangan ini apakah desa akan menjadi subjek atau malah semakin menjadi objek? Maka perlu adanya pemahaman-pemahan dasar sebagai bentuk kajian kritis akan permasalah baru ini. 

Revolusi Industri
1. Revolusi industri menunjukkan perubahan cara produksi, hal itu dilakukan untuk merespon perkembangan dan kebutuhan penduduk.
2. Thomas Robert Maltus: Penduduk berkembang menurut deret ukur, bahan makanan berkembang menurut deret hitung. 
3. Oleh karena itu kebutuhan materi yang dibutuhkan oleh penduduk tidak bisa dipertahankan dengan cara lama, cara berproduksi lama harus diganti secara total dengan cara baru, mulai dari sistem pengelolaan, alat-alat sampai dengan sumber daya manusia.
4. kemudia berkembanglah 2 sistem besar dalam pengelolaan sumber ekonomi produksi, disatu pihak orang meyakini pengelolaan terbaik di serahkan kepada individu (kapitalisme) dipihak lain diserahkan kepada komunitas sebagai aktornya (sosialisme). 

Perkembangan Revolusi Industri
1. Perkembangan revolusi industri pada perinsipnya adalah perkembangan dan perubahan alat produksi untuk  menggerakkan proses produksi.
2. Revolusi industri 1.0 (1784): air dan uap sebagai penggerak mekanisme sistem produksi.
3. Revolusi industri 2.0 (1870): listrik untuk menggerakkan sistem produksi masal.
4. Revolusi 3.0 (1969): menggunakan kekuatan elektronik dan teknologi informasi (komputer) untuk otomatisasi proses produksi.
5. Revolusi industri 4.0 (sekarang) ditandai oleh penggabungan antara teknologi komputer dan internet untuk menggerakkan hampir semua proses produksi industrial.

Si Kecil Bisa Menjadi Powerfull
1. Munculnya teknologi penggabungan komputer dan internet membuat perubahan yang luar biasa dimana orang bisa mengakses informasi apa saja melampaui batas-batas negara.
2. Tidak hanya itu melainkan juga muncul berbagai aplikasi yang memungkinkan kemapanan dalam dunia bisnis tergoyahkan (terbelenggu), yang kecil bisa menjadi powerfull (gojek, buka lapak, toko pedia dll) orang bisa menjual apa saja tanpa harus memiliki tempat yang luas.
3. Disatu pihak teknologi ini menghasilkan kreativitas sedang dipihak lain melahirkan sikap dan perilaku dehumanisasi. Industri awal mula dirancang untuk menciptakan solusi, akan tetapi bisa menghasilkan persoalan baru jika sikap emansipatoris dan kritis tidak hadir didalamnya. 

Desa Di Era Revolusi Industri 4.0
1. Desa menjadi wilayah terbuka yang bisa dilihat oleh siapa pun tanpa harus datang terlebih dahulu kedesa tersebut. Informasi tentang desa juga semakin detail.
2. Implikasinya, desa bisa menjadi objek bagi siapa pun yang memiliki kepentingan terhadap desa. Namun juga masyarakat juga bisa menjadi subjek yang menentukan jika memiliki kemampuan kritis dan kreatif terhadap berbagain kepentingan yang akan mengeksploitasi desa.

Social And Economic Development Based On Village
1. Kekuatan ekonomi seperti apa yang akan dibangun ditingkat desa? Kekuatan sosial ekonomi berbasis individu atau kekuatan sosial ekonomi berbasis kolektif?
2. Seandainya kita setia terhadap nilai pancasila dan UUD '45' perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan azas kekeluargaan. Konsep ini belom ada wujud konkritnya. Konsep ini seharusnya menjadi sumber nilai untuk membangun kehidupan sosial ekonomi desa.

Dengan revolusi industri yang semakin berkembang desa dan masyarakatnya dapat menjadi objek orang lain karena orang lain akan mengetahui dengan detail informasi didalamnya. Akan tetapi jika masyarakat desa memiliki rancangan kedepan tentang desa yang dicita-citakan meraka akan menjadi subjek yang menentukan, tidak mudah dieksploitasi orang lain karena paham tentang arah yang dicita-citakan.

Penulis : Abd. Mufty  (Sekretaris DPW IMABA Yogyakarta)

"Jam Belajar Merupakan Manifestasi dari falsafah Imaba"

"Jam Belajar Merupakan Manifestasi dari falsafah Imaba"

Jam belajar merupakan rutinitas Imaba Yogyakarta yang tidak terpogramkan dikalender kerja Dewan Pengurus Wilayah (DPW) IMABA Yogyakarta. Istilah jam belajar telah lama terdengar dan berlangsung di kalangan mahasiswa santri yang merupakan rutinitas yang dibawa dari pondok pesantren. Anggota Imaba sendiri merupakan santri lulusan Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata yang menempuh pendidikan di Perguruan Tinggi dalam Negeri sampai Luar Negeri.

Kegiatan jam belajar di DPW IMABA Yogyakarta kembali dibudayakan sejak Tahun 2013 pada masa kepemimpinan Muhammad Bahri sebagai Kordinator Wilayah (KOORWIL), berawal dari kegelisahan dan kerinduan terhadap suasana pesantren dan juga mengingat mahasiswa santri harus memiliki kemampuan yang mumpuni dibidang yang mereka tempuh di Perguruan Tinggi masing-masing, maka dari itu dengan segenap keyakinan dan kesepakatan kepengurusan, jam belajar ditetapkan sebagai kegiatan rutin dari setiap anggota IMABA. sebab dia sadar kalau harus ada waktu dalam sehari untuk anggota IMABA berkumpul guna membicarakan apa yang sudah didapatkan dari Perkuliahan, Organisasi, Perpustakaan dan materi-materi keilmuan yang sudah didapatkan setiap harinya. Selain itu, juga untuk menjalin emosional dan kesadaran dari setiap anggota tersendiri, meski mereka berproses di luar mereka harus tahu jalan pulang yaitu IMABA, dan untuk mewujudkan kader IMABA yang Akademis, Religius dan Transformatif sesuai dengan Trilogi Falsafah IMABA, supaya nantinya tercipta kader IMABA khususnya Daerah Istimewa Yogyakarta yang berintelektual dan mempuni dalam bidang masing-masing.

Jam belajar yang ada di DPW IMABA Yogyakarta tidak seperti jam belajar pada umumnya yang harus menghafal atau menjadi kutu buku, namun kegiatan jam belajar ini disesuaikan dengan kebutuhan dan keinginan anggota itu sendiri, hal ini dilakukan demi tercipta suasana nyaman bagi anggota itu sendiri, baik berbentuk diskusi atau obrolan santai yang arah pembicaraannya tertuju pada wahana keilmuan.

Adanya jam belajar di DPW IMABA Yogyakarta bukan tidak menuai perdebatan di kalangan anggota sendiri, menurut sebagian anggota yang tidak setuju dengan adanya jam belajar itu mempunyai Statement bahwa "Akan menghambat proses anggota yang ada di luar IMABA,  dengan hal itu anggota IMABA tidak diberikan kelonggaran untuk berproses di luar, dan diibaratkan anak kecil yang harus di atur, bagaimana anggota IMABA bisa mempunyai banyak hubungan di luar kalau masih terkekang dengan kegiatan yang ada di IMABA itu sendiri". Itu semua perkataan-perkataan anggota yang tidak satu pemahaman, yang hanya memandang sesuatu satu sisi yaitu kekurangannya saja, tanpa menilai sisi baik dari jam belajar itu sendiri. Sebenarnya tujuan dari jam belajar yang terpusat bukan untuk mengekang gerak dari anggota itu sendiri, namun merupakan suatu kepedulian.

Penulis : Abd. Shamat

Editor : Abdul Muqhti