Pada Malam

Pada Malam

 


Pada Malam


Oleh: Samsul Adnan


Pada malam, Renungan 

Berselimut ke ubun-ubun 

Sinar lampu terhalang pohon sabu

Jiwa rimpuh ingin terus mengabdi.


Bersemayam pada citra, yang

Tersimpan Rapi di galeri.

Sekali saja aku katakan

Tidak akan lagi bersungut-sungut

Jujur pada masa 

Meski tak akan hinggap.


Pada malam senantiasa,

Berdo'a di keheningan 

Bersama kertas suci,

Dan menggarap tubuhmu.

Biarlah aku di penjara dosa-dosa 

Meliang di pinggir sungai, Rerumputan.

Terguyur sesaat menggali


Setelahnya, menjamah tubuh mu

Merengkuh hingga tersimpuh

Merawat ke dalam Bak mandi 

"Kita telah membuat benih"


Pada malam hari nanti

Kau tak akan lagi suci, Dan 

Aku tak akan lagi mau mengabdi.


Pada suatu malam nanti

Kita akan terpisah

Dari tempat tidur bawah.

Pagi ke sawah

Sore ke ladang

Kamu saja berdandan 

Persiapan malam selanjutnya.


Cerita pada malam 

Bahwa bersenggamaku

Ilusi

Fiksi 

Dan halusinasi.


Yogyakarta, 19 Oktober 2020



Di Bukit Madura

Di Bukit Madura

 




Di Bukit Madura

Oleh: Funky Zubair Affandi


Panas kerontang teman nelayan sisir laut

jala dijinjing diatas sampan 

doa dirapal 


Anak dan keluarga dikejar ombak riuh

angin mengejar dari belakang


Mengerlap bahu petani ojheng keringat harap 

dan arah cangkul menjadi rumah kala hujan 

menjadi tanda sepasang tubuh memar dibajak koin kerikan


Kehidupan yang masih sempurna 

tatanan tetap terjaga

Madura ditanam menjadi hiasan karangan sudut-sudut rumah


Madura

Adalah kolam susu siapa yang tidak tahu 

dengan biru buminya madura tidak stroke, kanker, iri dan dengki, impotensi dan penyakit gengsi


Di bukit Madura

Aku membaca puisi 

aku melihat kehidupan yang tentram

jauh dari polusi 

jauh dari erupsi 

jauh dari korupsi 

jauh dari caci maki 

jauh dari cuci tangan kambing hitam 

jauh dari penguasa yang kejam

jauh dari tatanan masyarakat yang dangkal


Pasir pantai yang panjang gemuk akan belaian air bibir pantai yang beradu mesra dengan burung-burung kicau


Batu karang yang kokoh 

populasi ikan-ikan tertata dari kampung-kampung

dusun 

desa 

kabupatan dan kota


Dari bukit Madura 

Jelas terdengar suara panggilan shalat anak-anak kecil membaca shalawat 

dan para bapak tua menyenandung pojokan rumah reot


Sesama kerabat, tetangga dijaga

Jaga mulut jaga hati 

senantiasa sabar dalam diri


Puisi ku terbentur sapi kerapan memanggil senyum pada pipinya yang ranum


Sapi kerapan itu menari-nari mengelilingi kota dengan suara kaki-kaki mirip seperti ringkikan rindu kekasih pada malam hari


Madura 

Adalah rumah-rumah topi menunduk depan 

halaman luas tetanaman tumbuh tanah subur mengali air sumur 


Kucur slamatan dan ketan menabung persaudaraan mengiring doa-doa ke tanah nenek moyang 


Disini Madura

Sawo matang, kuning telur dan putih kulit tidak dibedakan


Madura mengenal adat persaudaran yang kental

Madura mengenal cinta yang panjang

Madura mengenal kasih dan sayang

Madura tempat teduh yang nyaman

Madura pulau dengan segala keharmonisan

Madura adalah celurit terpampang diatas ubin kamar simbol ketawadhuan


Di bukit Madura

Puisiku dibawa semilir 

angin tertiup salam dari sakera bapak dengan kumis tebal 

tokoh madura yang dikenal


Dari bukit Madura aku melihat

Para tokoh masyarakat, kyai dan ustadz mengangkat tangan setiap pertiga malam 

doa-doa mereka melintasi langit 

Berbinar layaknya bintang gemintang


Rakyat atas bawah menyatukan tangan memajukan pendikan, kebun, pasar, toko-toko klontong, dan masuk ke dalam penjual asongan


Madura 

Adalah waktu yang sampai tuhan menjanjikan 


Madura 

Adalah ruang dengan segala


Madura

Pada puisiku berkumandang.


Cangkemmu!!!!

Cangkemmu!!!!





CANGKEMMU!

Oleh: Funky Zubair Affandy

 

 

Virus Corona belum juga kelar 

Guru dan dosen mengajar

Rumah tungku api 

Angin melahap diri

 

Bukan karena virus corona, kemiskinan kouta, jauh jangkaun, atau juga aparat Negara kerjanya itu-itu saja

 

Virus corona anugerah

Berkat dia suami istri yang LDR sudah lama serumah

Buruh istirahat dulu

Pendidik mengurusi anak dan ibu

Mahasiswa mabuk kopi buatan sendiri

Kata-kataku dari diskusi

 

Masyarakat Indonesia terlalu uh, ah dan ih

Rahangnya tandus

Matanya pun penuh ingus

Pelbanyak tadarus

Siapa tahu ajal mengendus

 

Tanah Indonesia kaya

Dimana ada semakmur Indonesia

Masyarakatnya teratur bayar pajak

Aparatnya teratur pula korupsinya

 

Dimana ada seindah Indonesia

Keberagaman budaya dan bahasa

Petinggi kuasa beruforia mengagungkan kursi kekuasaanya

Ada yang pajang mobil keluaran baru di statusnya

Ada juga cekrek poto di restoran dan memakai baju di mol ternama

Bertamasya bunga sakura

 

Dimana ada seindah Indonesia 

Masyarakat kecil makan nasi belum tentu

Ada bantuan banyak tangan genit kepentingan melorot satu-satu

Duh virus corona gambar deritamu. 

 

Rumah Teater, Agustus, Duapuluh-Duapuluh.

Rindu

Rindu

Penulis: Maimuna
Merindu[pixabay/1866946]












Rindu
Tak tampak namun nyata.
Tak bersuara namun selalu terdengar.
Tak bergerak namun selalu mengikuti.

Rindu
Ia bukan penyakit cacar namun ia berbekas dan berkeliaran.
Ia bukan benda tajam namun menyisakan luka.

Rindu
Kenapa kau ada jika hanya membuat orang tersiksa
Kenapa kau hadir jika hanya membuat orang sakit.

Rindu
Dalam endapan namamu, terkulai sejuk menenteng isian bunyi bunyian.
Menabuh pada kering air mata.

Rindu
Terisak tangis jika namamu digendong melawan arahku.
Jika nyanyianmu tidak lagi ada dialmari deary.

Rindu
Bisa saja aku membunuhmu
Dibantu ruangdan waktu yang berbisik padaku.
Tapi tidak yakin keesokan hari aku bangun tidur melihat lagi belaian matahari itu.

Karya Puisi Oleh Funky Zubair (Pers IMABA Yogyakarta)

Karya Puisi Oleh Funky Zubair (Pers IMABA Yogyakarta)

"BILA"

Bila aku tidak makan,
Bukan semata mata karena tidak lapar
Ataupun karena kurang luasnya lapangan untuk berteriak

Bila aku tidak berbicara bukan karena bisu
Atau mati, kata bercerita
Para musuh tumbang melihat saja.

Bila aku tidak ngopi bersama, ataupun karena kantong kering
Ataupun tidak ada yang ingin di obrolkan
Kantuk saja tak mendekat.

Bila aku tidak bersumpah bukan karena tidak ingin meyakinkan
Para sayur sayur dipasar mengamini puisi yang terbang
Apalagi hati yang dalam.

Aku hanya ingin makan Masakanmu; Bersamamu walau hanya dengan lauk tempe tahu.

Aku hanya ingin bercerita kalau detik ini aku merindukanmu
Ingin saja bertandang kerumahmu.

Aku hanya ingin setelah makan, minum kopi spesial buatanmu yang tak bisa kopi lain menirunya.

Aku hanya ingin bersumpah di hadapan tuhan.
Tuhan! ini Hidupku
Tuhan! Dia milikku
Tuhan! miliknya milikku begitupun sebaliknya.

Bila aku melihatmu saat aku menulis dirimu.

Karya Oleh :
FUNKY ZUBAIR
Pers IMABA Yogyakarta
MALAPETAKA BERCINTA

MALAPETAKA BERCINTA

MALAPETAKA BERCINTA
Oleh : SYAIFULLAH (Rakyat Republik Jancukers)

“Kemarilah sayang, lihat lekuk tubuhku ini. Sengaja kubuka lebar tuk kau nikmati dengan desah yang bergairah. Kemarilah, setubuhi aku dengan penuh cinta, angkat benda tumpul panjang nan keras itu, letakkanlah di mana kau sukai. Biarkan cairannya muncrat di sela-sela pusarku agar aku bisa menikmati hangatnya cairan yang tumpah dari benda itu. Aku akan terdiam pasrah untuk kau jalajahi setiap titik di tubuhku. Kemarilah sayang, kenapa kau hanya terdiam? Tak adakah hasrat dalam dirimu untuk menyetubuhiku? Tak dengarkah kau desah nafasku yang tak beraturan ini? Birahiku sudah tak bisa lagi kutahan, sayang. Kemarilah setubuhi aku, belai mesra tubuhku ini.”

Juna masih saja tertunduk sembari memegang kepalanya. Sesekali dia memukul-mukul kepalanya tak percaya sekaligus tak terima. Dia bingung, bertanya pada batinnya kenapa nafsu dalam dirinya tak mau bergejolak sedikitpun, meski seuntai tubuh seksi dengan lekuk indah terlentang di hadapannya. Rayuan kekasihnya itu tak sedikitpun membangkitkan gairah Juna tuk bersenggama.

“Ada apa sayang? Kenapa tak sekalipun kau menyentuhku? Tak adakah hasrat dalam dirimu tuk bercinta denganku malam ini? Aku sudah tidak sabar menunggumu meraih, memeluk dan membelai tubuhku. Aku sudah cukup tersiksa atas hasrat bercumbu yang lama tak terpenuhi. Kian lama sudah aku menahan rasa ini, menunggumu memelukku kemudian meletakkan benda keras itu di sela-sela tubuhku hingga kita melebur dalam rasa hangat pada dinginnya malam. Ada apa sayang? Kenapa kau masih tertunduk dengan raut seperti itu? Kemarilah tumpahkan cairan itu pada tubuhku.” Suara lirih ditambah desahan hangat semakin membuat Juna kesal. Dia mendongakkan kepalanya pada langit seraya berteriak sekuat tenaga.
“Kenapa..? Kenapa aku setolol ini? Tuhan, kenapa kau ciptakan indah dunia seluas ini jika tak secuilpun hasrat yang kau beri padaku tuk maknainya dengan indah?” Juna masih dengan isak tangis dan kecewa yang semakin menjadi. Sementara manusia-manusia di bawah langit yang sama dengannya tak mendengar teriakan Juna.
Malam terdiam, angin berhenti berirama. Juna berhenti protes pada Tuhannya. Dia melerik pada benda panjang keras miliknya. Segera dia memegang dan memainkannya sambil menggerutu. “Kenapa? Kenapa aku tak bisa menyetubuhinya sedangkan aku hanya harus meletakkanmu pada hamparan tubuh cantik itu hingga dia merasakan cairan yang menyembur dari dirimu?”

Perlahan Juna membuka kancing bajunya satu persatu, melucuti pakian yang ia kenakan. Dengan rasa yang masih ragu  Ia melirik tubuh cantik yang terlentang di depannya, tapi segera ia palingkan wajahnya. Jantungnya berdegup kencang, nafasnya mulai tak beraturan, nafsu di dalam dirinya mulai melonjak. Juna kembali mengarahkan pandangannya pada tubuh mulus itu, dia sedikit menggit bibirnya. Tangannya gemetar memegang benda panjang miliknya. Keringatnya mengalir di sekujur tubuhnya. Ia menjalarkan tangannya mencoba meraih kekasih yang sedari tadi menggodanya. Juna menjalankan tangannya menjelajahi lekuk tubuh kekasihnya, halus nan lembut ia rasakan. Kekasihnya mendesah keenakan, hangat nafasnya dirasakan oleh Juna.

Juna mulai terangsang untuk menyetubuhi kekasihnya. Dirinya merasakan letupan-letupan di dadanya. Panas dingin tubuh Juna semakin melebur. Hasrat Juna untuk bercinta dengan kekasihnya sudah berada di titik puncak. Ia teringat perkataan teman karibnya. “Berkarya memang membutuhkan waktu, tapi bukan berarti harus membuang-buang waktu dengan hanya terdiam. Kamu hanya cukup memulainya dengan menyetubuhi kertas-kertas yang kamu miliki dan anggaplah dia kekasihmu agar kamu mencumbunya dengan segenap cinta yang kau miliki. Hingga nanti lahirlah anak dari persetubuhan kalian yang akan dicintai banyak orang. Percayalah kertas-kertas yang kau miliki sudah tidak sabar menunggumu mengambil pena supaya kau teteskan tinta di tubuhnya. Dia sudah lama menunggu kehangatan tintamu itu, Juna.” Mereka saling beradu pandang. Juna semakin bersemangat untuk menuliskan kata demi kata pada kertas di depanya setelah teringat perkataan temannya. Keinginannya untuk berkarya semakin berkobar. Tatapan mataya tak sia-sia, dia ingin sekali melahirkan buah pikirnya malam ini. Juna ingin  membuktikan pada semesta bahwa dia bukan pria tolol yang tidak bisa berkarya.

“Aku akan  menyetubuhimu malam ini, kekasih. Aku tak ingin menjadi sebodoh yang kau katakan.” Ucap Juna pada kertas kesayangannya. Dengan penuh keberanian dia mulai memainkan pena di atas lekukan tubuh kertas catiknya. Dia rangkai tumpukan kata yang tersimpan dalam benaknya. Dia hanyut dalam pelukan kertasnya, merasakan cinta mencairkan rasa. Seketika malam menjadi tenang, tak ada lagi air mata yang memprotes semesta. Wajah Juna yang tadinya menyerukan kekesalan tak lagi ada. Hanya seutas senyum yang kini mulai terlukis di wajahnya.

Kini juna bermesraan bersama kekasih cantiknya. Keduanya tersenyum merasakan kehangatan yang sama. Selang beberapa menit mereka bercumbu mesra, Juna terdiam. Badannya melemas, keringat dinginnya bercucuran. Kakinya gemetar seakan tak kuat lagi melanjutkan persetubuhannya malam ini. Sedang kekasihnya belum merasakan kelelahan, dia masih merintih kekurangan, menggeliat mengajak Juna tuk melanjutkan. Mungkin dia masih kurang puas atas belaian Juna yang hanya sebentar. Tak berlangsung lama, juna meletakkan kembali benda keras miliknya pada tubuh kekasih manisnya itu. Mereka berkasih-kasih kembali sampai lupa pada manusia-manusia yang tadinya tak mendengar kekesalan Juna.
“Ah,, sedapnya tubuhmu kekasih. Aku tak pernah mencium aroma seperti ini sebelumnya. Setelah sekian lama aku tak bercumbu denganmu. Lama sudah aku ingin merasakan kenikmatan yang tiada tandingannya ini. Ah,,, Ah.."

Semesta tersenyum menyaksikan sepesang kekasih yang sedang asik bercinta itu. Juna masih mendekap kekasihnya meski malam semakin larut. “Wahai malam, panjanglah. Wahai kantuk, hilanglah. Wahai subuh, janganlah kau datang. Aku masih ingin melampiaskan nasfu birahiku pada kekasih cantikku ini.” Bersetubuh dengan kertas memang begitu sedap dirasakan, bercumbu dengan menganggapnya kekasih lebih nikmat dari yang orang-orang katakan. Juna merasakan semua itu malam ini, kesenagan yang tak bisa digambarkan lewat kata-kata, kenikmatan yang tak dimiliki sembarang orang menyelimuti malamnya kini.


Rasa Yang lewat

Rasa Yang lewat



Saat senja menampakkan keindahannya
yang terlihat adalah aura ketulusan
keindahan sebuah lukisan senyuman

yang begitu meyakinkanku
kau adalah bidadari dari tuhanku
karena aku melihat tuhan dalam dirimu

setiap hari selalu memuja keindahannya
begitu cepat pesonanya mengelabui jiwa
menghipnotis mata
menguasai seluruh isi hati
tak ingin terlewatkan setiap hari
jika saja ia adalah sesuatu yg dapat dibeli
aku akan membuat istana dari emas murni
jika dia suka puisi
aku bisa membuat yang lebih indah dari troya homerus
jika dia ingin kesetiaan dan perjuangan
aku bisa saja lebih dari Qais kepada Laila
semua itu bisa, karena aku ingin menikmatinya, selamanya.

perlahan, tuhan mengingatkanku tentangnya
keindahannya telah dipengaruhi oleh tetangga
sehingga aku tidak lagi bisa menikmati
keindahan yang sangat mendamaikan jiwa
yang selama ini menjadi bianglala

bianglala itu telah mengagumi satu bintang
membuat aura ketulusan itu menghilang
hari-hari terasa begitu sulit terjalani
menyadari bahwa ia tak lagi menyanyi
serta puisi dan lagu-lagu yg menjadi atmosfer keindahan
diantara kita kita telah mati
hari-hari terlewati seperti sungai di musim kemarau

berapa kali tuhan mengingatkanku tentang hal itu
saat haus aku tetap memberinya segelas air
pagi, siang, sore, malam
namun dia tidak pernah memberiku setetes saja
bahkan malam itu yang diminum adalah air yang lain
malam berikutnya aku tak memberinya lagi

setelah sekian hari terlewati tanpa penglihatan
aku menyadari satu hal tentang perasaan
perasaan membutuhkan
merindukan
kehilangan
kepedihan hati merasa terabaikan
hampa rasanya melewati hari tanpa melihatnya
walau hanya sebatas setatus di media sosial-nya
lalu aku mulai berpikir tentang cinta
inikah cinta atau hanya sebatas rasa yang lewat
kalau bukan, mengapa rasa ini sangat menjiwai
kalau ia, mengapa dia tidak juga mencintai
ya, kadang aku merasa itu terlalu lebay
tapi itu lah kenyataanya

cinta yg kurasa seperti kemilau bianglala
meniup api yang menyala
melebihi angin sepoy yg melambaikan ilalang
ditengah hutan yang penuh dengan mata elang
ditengah keramaian yang penuh dengan rayuan
melewatinya dengan senyuman
cinta ini mengalahkan konsistensi logika
yang terbangun rapi dalam konstruksi dinamika-
perjalanan hidupku untuk menggapai cita-cita
atau munkin cinta ini adalah bagian dari cita-cita
entahlah,

pada akhirnya aku menyadari
munkin tuhan menciptakan keindahannya bukan untukku
bukan untuk menjadi milikku
aku mulai berusaha melenyapkannya dari memoriku
mengingat segala kekurangannya, kejelekannya
cahaya redupnya
ular dilidahnya
pasir dimatanya
ya, itulah caraku melupakan sesuatu
dengan mengingat kejelekannya
aku sedang berusaha.

By : Fausen

Cahaya Bunga diwajahmu

Cahaya Bunga diwajahmu

Malam itu aku melihat bunga dalam dirimu
yang terlihat indah berseri diwajahmu
serasa aku berada taman bunga yang indah
menikmati sedikit pesonamu dengan gairah

lalu aku membawamu ke gubuk kelabu
melewati bilik kayu dan anyaman bambu
memasuki ruang tanpa sudut yang jelas
tak nampak sudut yang pasti seperti ruang kelas

ada secercah cahaya yang tidak menyilaukan
bukan obor dari sutra dan kain kafan
bukan lilin yang berserakan
bukan juga cahaya yang menyinari kegelapan
ia hanya cahaya yg tak bisa menyala tanpa sarana

ia tidak indah seperti pesona bianglala
tida mampu menembus dinginnya cakrawala
ia hanya cahaya baru yang tercipta di awal abad 20an
menyusun bahan-bahan sederhana menjadi kualitas
tercipta kemajuan yang disebut modernitas
mengonvergensi entitas menjadi komunitas

kuperlihatkan padamu sedikit dari arti keilmuan,
kemajuan teknologi, keorganisasian,
dan sedikit dari rahasia kehidupan
ya, malam itu aku memberi tahumu sedikit saja

lalu aku aja kamu ke gunung merapi
bukan untuk menyepi
bukan untuk mendaki
sebatas menikmati suasana pagi
ditengah sejuknya tirai-tirai daun hijau sunyi

diatas batu besar yang melukai kaki
meneteskan darah yang tak perih
namun kurasa kau peduli
dengan tisu putih yang kau tawari

ku ceritakn padamu mata elang yang awalnya setia
memeluk merpati yang jadi kekasihnya
merasa hidup sudah sempurna
dan mepersilakan kiamat boleh tiba

namun mata elang itu menjadi sayu
mengalami masa kelabu
setelah merpatinya direbut oleh sepupu
kebahagiaan kandas dan berlalu

ia mengalami masa-masa sulit dalam hidupnya
menjalani hari seolah ia bukan dirinya
hanya menjadi bayang-bayang kehidupan yang fana
sepeti kulit kambing yang tak lagi berarti bagi rebbana

Setelah itu ia menjalani hidup dengan cara yang berbeda
seperti kuda putih yang berjalan sambil menutup mata
menerima merpati-merpati di pundaknya
menggendongnya kemana-kemana
satu persatu seperti yang diaturnya
ya, iya bersembunyi bahkan dari mata si buta
ya, itu adalah cerita

ku genggam tanganmu, kurasa kehangatan
di tengah dinginnya suasana pagi merapi
kucium aromamu dari kejauhan
saat kau mengagumi pohon-pohon hijau yang berdiri

lalu aku membawamu ke istanaku
istana yang berantakan,
barang-barang berceceran
tidak rapi, tidak beraturan
namun kamu bantu membersihkan, merapikan
buatku merasa tidak sendirian

kau hadir dengan pesonamu masih sama seperti malam itu
ku ingen menyentuhmu namun kau mengacuhkanku
ku ingin memelukmu namun kau melepas tanganku
ku ingin menikmati pesona bungamu namun kau melarangku
dan ku ingin cium bibirmu yang telah berbohong dan menutupi segala rahasia hatimu

aku rasa ada sesuatu di hatiku untukmu
seperti magnet yang buatku selalu ingin ketemu
namun aku sadar kau tidak punya banyak waktu
untuk menemuimu harus membuat janji dahulu
ya, kurasa kau sudah sibuk seperti pak penghulu

aku belum begitu yakin kalau ini adalah cinta
namun aku tidak setuju jika dikatakan ini hanya perasaan pertemanan yang biasa
kalau boleh, ijinkan aku memelukmu dan mencium keningmu, sekali saja
lalu beri waktu aku seminggu untuk mengetahui apakah yang sebenarnya kurasa.

by ; Fausen
17-12-13