Oleh : Ali Sibro Mullisi dan ABD.Samat (Pengurus DPW IMABA Yogyakarta)
Dewasa ini seringkali kita dikejutkan dengan beberapa fenomena
tetang hukum, mulai dari proses terciptanya sebuah hukum samapi hukum sendiri
itu ada, kerap kali konflik antara rakyat dengan
pemirintah itu terjadi,
sebab UU yang dibuat
pemerintah tidak sejalan dengan kainginan rakayat pada umumnya. Maka dari hal
tersebut penulis berisiatif untuk menganngkat judul ”Hubungan Kausalitas Antara
Politik Dan Hukum” sehingga persaudaraan dalam bernegara masih tetap terjalin
utuh, seperti apa yang diinginkan pahlawan bangsa ini.
Maka dari judul tersebut, kami sebagai penulis akan menjalaskan.
Apa itu negara? hubungan negara dengan perpolitikan, dan dampak dari adanya
negara itu sendiri. Negara terkadang dijadikan kambing hitam untuk memenuhi
hasrat pemerintah memperoleh jabatan, kemulian dan harta, dari hal tersebut
banyak rakyat yang tidak memperoleh hak dan manfaat dari adanya negara itu
sendiri. Sehingga perlulah melihat kembali apa itu negara mulai pemikir klasik
hingga modern, sehingga negara akan kembali
sebagai mana mastinya
negara itu dibentuk. Keterjaminan keamanan
rakyat seabagai warga,
manjadi puncak terciptanya sebuah negara, baik
keterjaminan bahaya dari luar negara tersebut atau dari warga negara itu
sendiri, sehingga dalam tulisan singkat ini akan menjelaskan hubungan
internasional antar satu negara dengan negara yang lain.
Doktrin
teokrasi tetang negara tumbuh pada zaman Plato atau sekitar abad ke-4 sebelum
Masehi, dengan pola doktrin yang dibangun oleh kaum Sofis, seperti halnya negara diciptakan oleh
dewa-dewi dan yang menjadi kaisar atau pemimpin harus keturunan dari dewa-dewi
pula. Protagoras, seorang tokoh Sofis terkemuka mungungkapakan bahwa istilah
negara timbul dari manusia itu sendiri, untuk menjaga serangan dari hewan buas
dan menjaga kesetabilan sosial, dari kebutuhan akan sesamanya timbul istilah negara.
Pemikiran Plato tetang negara sangat terpengaruh oleh pemikiran
Protagoras, namun Plato sendiri tidak
hanya memfokuskan ketergangguan pada hal yang ada di
luar manusia tapi juga ketergangguan dari manusia itu sendiri. Bagi Plato
negara itu dibentuk oleh keterbatasan dan ketercapainya keinginan dari manusia,
sehingga dia mengatakan, bahwa terbentuknya sesuatu negara dilatar belakangi
oleh ketidak mempuan manusia hidup sendiri, kebutuhannya kepada orang lain
untuk keberlangsungan kehidupannya, sehingga kerja sama itu sangat dibutuhkan
untuk menutupi keterbatasan dan kekurangan dari setiap masing- masing individu manusia.
Dimasa sekarang
ini konsep mengenai negara beralih fungsi, dari saling membutuhkan beralih
bentuk menjadi saling memanfaatkan, sehingga yang lemah hanya menjadi
bulan-bulanan untuk kepentingan kelompok yang menungganginnya. Maka dari itu
perlulah konsep negara yang adil untuk memenuhi kebutuhan rakyat dan menjamin
hak-hak rakyat, supaya konsep negara bisa kembali pada khittahnya sebagaimana mastinya negara itu dibentuk. Para
pemikir klasik dan modern sangat kontrofersi mengenai terbentuknya suatu
negara. Menurut Aristoteles, negara merupakan persekutuan dari keluarga dan
desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya. Menurut Thomas Aquines, Negara merupakan lembaga sosial manusia
yang paling tinggi
dan luasang berfungsi menjamin
manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya yang melampaui kemampuan
lingkungan sosial lebih kecil sepeti desa dan kota. Terbentuknya sebuah negara
atau kedaulatan pada hakikatnya sebuah kontrak atau perjanjian sosial, dalam
istilah Hobbes covenant. Dalam
perjanjian itu manusia atau individu secara sukarela menyerahkan hak-haknya
serta kebebasannya kepada seorang penguasa negara atau dewan rakyat.
Republik merupakan bentuk negara paling baik, sebab rakyatlah yang
memegang kedaulatan serta rakyat pula yang memberikan mandat serta legitimasi
kepada orang yang dapat dipercaya oleh rakyat, untuk memegang pemerintahan. Di negara republik, semua orang harus mementingkan kebijakan
demi terwujudnya kesejahtraan masyarakat, semua warga negara sama di mata
hukum, tidak memandang jabatan atau derajat semua mempunya hak yang sama. Dalam melihat
negara Max Weber mengungkapkan, bahwa negara berhak secara sah, untuk
memonopoli kekerasan atau melakukan kekerasan. Di negara manapun, urusan
kekerasan atau pemaksaan dianggap sebagai urusan negara, baik secara lagsung,
dalam artian melalui agen-agen negara-polisi dan pengadilan. Namu pada sisi
yang lain negara mempunyai tanggung jawab melindungi semua warga negara, dari
kekerasan dan sebagainya yang bisa membahayakan.
Ketika perpolitikan mempunyai control membuat undang-undang. Haruslah
mempunyai spekulasi yang pas, supaya produk yang dihasilkan bermanfaat bagi
semua elmen masyarakat. Dalam hal ini Ibnu Bajjah memberikan tawaran membuat
kebijakan di negara yang berdaulat, dengan membagi kebijakan menjadi dua
bagian. Pertama kebijakan formal,
kebijakan ini merupakan
bawaan dari lahir
yang masih belum terkonta minasi oleh kepentingan sosial, seperti punya
sifat jujur dan tidak memanfaatkan orang lain. Kedua, kebijakan spekulatif, kebijakan ini didasarkan pada kemauan, sehingga, manfaat atau tidaknya itu tidak menjadi pertimbangan, yang terpenting
keinginannya tercapai.
Hukum pada hakikatnya mampu mengendalikan dan merekayasa perkembangan
masyarakat termasuk kehidupan politiknya, sehingga fungsi hukum mampu menjamin ketertiban dan
melindungi masyarakat akan lebih relevan, sebagai objek dari hukum itu sendiri.
Akan tetapi kaum realis seperti Von Savigny mengungkapkan, seharusnya “hukum
selalu berkembang searah dengan perkembangan masyarakat”. Dengan demikian hukum
mau tidak mau harus independent variable,
untuk selalu menyesuaikan kebutuhan rakyat, tidak punya pijakan yang pasti dan
akan tercipta ketimpangan sosial, sebab rakyat yang menentukan produk hukum. Pada kenyataannya, hukum dilatar belakangi
oleh konfigurasi politik,
sepeti yang dikatakan oleh Satjpto Raharjo, kalau kita melihat hunbungan
antara subsistem politik dan subsistem hukum,
tampak bahwa politik
memiliki peran besar terciptanya produk hukum. Keadaan
politik dapat mempengaruhi produk hukum, misalnya, lahirnya UU No. 1 tahun 1974 (Tentang
Perkawinan) dan UU No. 7 tahun
1989 (Tetang Peradilan Agama). Lahirnya UU Perkawinan disebabkan politik
konflik dan saling curiga, antara negara dan agama, sedangkan UU No. 7 tahun
1989 negara dan agama melakukan akomodasi. Seperti yang dikatakan Afan Gaffar
(1992) dalam tulisanya, pada tahun 1970 sampai akhir 1980 agama dan negara
saling curiga dan menyebabkan konflik, sedangkan pada tahun 1980 sampai
sekarang agama dan negara saling melakukan akomodasi. Dalam dua produk hukum di
atas bisa kita fahami, struktur sosial politik yang berbeda, bisa mengakibatkan
produk hukum yang berbeda pula, namun untuk
mewujudkan atau mengimplementasikan hukum dalam sebuah negara yang berdaulat
diperlukan beberapa poin, diantaranya sistem
politik yang tidak hanya dikuasai oleh satu kekuasaan saja, keamanan
dengan melibatkan instansi yang berwenang, ikut andilnya masyarakat dalam mewujudkan
negara berdaulat, dan hubungan bilateral.
Pembagian Kekuasaan
Untuk terjaminnya sebuah negara yang berdaulat, negara harus
membagi kekuasaannya terhadap kekuasaan yang lain. Sehingga jaminan itu akan
terwujud, apabila suatu negara mempunyai system yang jelas. Yakni negara harus
ada pembagian kekuasaan (politik) yang kita kenal dengan Triaspolitika. Ketiga cabang
kekuasaan itu dipisahkan secara konkret, tujuannya adalah untuk melindungi hak-
hak individu, menjaga kondusifitas negara itu sendiri, dan mencegah penyalahgunaan
kekuasaan (abuse of power) agar
kebebasan individu atau masyarakat terjamin, baik itu kebebasan yang berbentuk
aspirasi maupun kebebasan pers.
Pertama, legislatif
yaitu kekuasaan yang membuat undang-undang (dilakukan oleh parlemen atas nama
rakyat). Kedua eksekutif yaitu
kekuasaan menjalankan undang-undang. Ketiga yudikatif yaitu kekuasaan mengadili sengketa terhadap undang-undang. Bila tiga cabang
kekuasaan ini disatukan
pada satu orang atau satu badan pemerintahan yang
sama, maka keadilan akan tiada; karena timbul rasa ketakutan bagi kaum lemah,
bahwa pemimpin atau parlemen sama-sama menetapkan hukum rimba atau hukum tirani,
dan mereka menjalankan dengan cara yang
rimba atau tirani pula. Rasa keadilan atau kebebasan akan tiada apabila
kekuasaan yudikatif tidak dipisahkan dari legislatif dan eksekutif. Apabila
yidikatif dan legislatif digabung, kehidupan, keadilan, dan kebebasan
akan terkekang oleh kebijakan yang sewenang-wenang, karena para hakim akan
menjadi legislator. Apabila yudikatif dan eksekutif digabung, maka para hakim
akan mengambil kebijakan yang kejam dan menindas.
Dengan demikian, menurut Montequieu, tujuan ajaran pemisahan
kekuasaan fokus untuk melindungi HAM (Hak Asasi Manusia), dan kekuasaan hakim
yang merdeka, mengharuskan hakim menyuarakan undang-undang atau hakim sebagai
“mulutnya” undang-undang.Pemisahan kekuasaan pembuat undang-undang
tersebut untuk meminimalisir terjadinya ketimpangan produk hukum, sebab
tempurung kepala yang berbeda akan menciptkan buah pikir yang berbeda pula.
Sehingga diperlukan pembagian kekuasaan sebagimmana pembahasan yang diatas. Ketiga
cabang kekuasaan itu meskipun terpisah
tapi saling mengawasi dan
mengimbangi (check and balances) yang
berarti “check power to power” (kekuasaan
mengontrol kekuasaan).
Istilah Trias Politika itu dipelopori oleh Immanuel Kant, sedangkan
isinya berasal dari Locke dan Montesquiew. Baik Locke maupun Montesquiew
menyatakan bahwa di dalam negara demokrasi harus ada lembaga peradilan yang
bebas dan merdeka dari kekuasaan lain dalam menjalankan tugas-tugasnya. Namun,
tidak ada bukti yang cukup kuat yang menyatakan bahwa
prinsip bebas merdeka
itu harus diartikan adanya struktur organisasi ketatanegaraan yang
betul-betul memisahkan lembaga yudikatif dari lembaga eksekutif. Artinya,
secara struktur kelembagaan bisa saja yudikatif itu tidak terpisah dari
eksekutif, tetapi dalam pelaksanaan tugas-tugasnyalah yang harus betul-betul merdeka.
Pernyataan yang
terakhir ini dapat dilihat dari fakta tentang organisasi kelembagaan negara dan
pengangkatan hakim di negara yang menganut Trias Politika yang ternyata tidak
seragam. Di Amerika Serikat memang diadakan pemisahan yang tegas antara ketiga
kekuasaan baik organ maupun fungsinya yang ditetapkan oleh kongres. Tetapi di
Inggris, yang oleh Montesquiew sebagai contoh terbaik dari implementasi Trias
Politika, justru badan peradilannya dibentuk oleh eksekutif dan tidak ada
hakim-hakimnya yang dipilih. Penulis setuju terhadap pendapat yang disampaikan
oleh Montesquiew, bahwa contoh yang dikemukakan oleh Montesquiew merupakan
representasi dari Trias Politika. Sehingga kepastian hukum akan tercipta
apabila tiga kekuasaan tersebut saing menjaga integritas baik itu integritas
individual (professional) maupun lembaga tanpa ada bumbu-bumbu politik
tertentu.
Berbeda dengan hukum
nasional yang berlaku
di setiap negara
merdeka dan berdaulat yang
dijalankan, diawasi serta diberikan sanksi bagi yang melanggarnya oleh sistem
penyelenggaraan negara (termasuk di dalamnya penyelenggaraan hukum) secara
efektif berdasarkan organisasi penyelenggaraan negara tersebut, hukum
internasional tidak memilki pola pelaksanaan dan pengawasan secara terpusat.Tidak ada satu
kekuasaan terpusat pun yang dapat memaksa para negara- negara anggota pergaulan
internasional untuk menaati peraturan-peraturan yang terkandung dalam hukum
internasional. PBB bukanlan negara atasan (superstate)
negara-negara anggota, sehingga dalam praksis sering kita jumpai dalam
resolusi PBB sering diabaikan. Karena hal itu kurang sesuai dengan politik
negara tertentu. Perbuatan kepada hukum internasional tergantung kuat atau
tidaknya status negara dalam power
politics among nations (kekuatan politik negara tersebut di antara
negara-negara lainnya). Misalnya saja, Amerika Serikat pasca perang dingin
dengan bekas Uni Soviet (Rusia) menjadi berkuasa dan adikuasa. Dewasa ini saja
negara tersebut masih menjadi ‘polisi dunia’ dan PBB hanya dijadikan instrumen
politik semata.
Dimensi hukum internasional berbaur
dengan dimensi kepentingan lainnya, sehingga pelaksanaan dan pengawasannya sangat
tergantung pada kekuatan politik
dunia. Burma yang pemerintahannya totaliter adalah contoh bagaimana sebuah
negara yang dikucilkan oleh dunia internasional akibat cara-cara represif yang
digunakan pemerintahannya dalam menangani oposisi yang dipimpin oleh Aung San
Su Sky. Untuk
menciptakan negara yang berdaulat, perlulah melakukan hubungan yang erat dengan
negara lain, supaya keamanan dan hak dari negara tersebut bisa terjamin. Maka
dari itu dalam tulisan yang singkat ini kami akan sedikit menjelaskan apa itu
hubungan internasional dan manfaatnya.
JG Stake dalam bukunya yang berjudul “An Introduction to Internasional Law” mendefinisikan hubungan internasional dengan: sekumpulan hukum yang sebagian
besar terdiri dari prinsip-prinsip hukum dan aturan tingkah laku yang mengikat
suatu negara. Definisi ini cenderung lebih luas dibandingkan dengan definisi
yang berkembang menjelang dan sesudah Perang Dunia Kedua, apalagi sesudah
terbentuknya organisasi Internasional semisal Persatuan Bangsa Bangsa (PBB)
atau United Nation Organization (UNO)
dan sebagainya.Timbulnya organisasi tersebut, upaya untuk memajukan nilai-nilai
kemanusiaan, seperti hak asasi manusia, dengan hal tersebut muncul peraturan
baru untuk menghukum orang-orang yang melakukan kejahatan atas nama
kemanusiaan.
KESIMPULAN
Dalam kehidupan, manusia seringkali membutuhkan sesamanya untuk
menempuh kehidupan, sehingga perlulah istilah negara untuk menjamin kebutuhann dan kekurangan manusia
tersebut. Dari hal tersebut para pemikir klasik sampai modern kerap kali
mendefinisikan negara nengan krakter yang berbeda, sebab kehidupan manusia itu
berkembang, searah berjalannya jarum jam.
Aristoteles mendefinisikan negara, sebagai persekutuan dari
keluarga dan desa guna memperoleh hidup yang sebaik-baiknya. Seiring berubahnya
waktu pendefinisian yang gagas oleh Aristoteles harus diperbaharui sebab tidak
bisa dipakai di negara modern ini. Dari hal tersebut Thomas Aquenes
mendefinisikan negara sebagai lembaga sosial manusia yang paling tinggi dan
luasang berfungsi menjamin manusia memenuhi kebutuhan-kebutuhan fisiknya yang
melampaui kemampuan lingkungan sosial
lebih kecil sepeti
desa dan kota. Kemungkinan besar pastilah ada puncaknya pendefinisian
tetang negara, sehingga tidak perlu rekonstruksi ulang mengenai negara.
Diantara pembagian kekuasaan yaitu atau yang lebih kita kenal dengan istilah
Trias Politika.
Berkaitan dengan pembahasan diatas, dalam mengimplementasikan hukum
di negara yang berdaulat diperlukan pembagian kekuasaan, tidak hanya bertumpu
pada satu kekuasaan saja. Meskipun ketiga cabang kekuasaan itu terpisah namun
saling mengawasi dan mengimbangi (check
and balances). Selain mengawasi dalam ruang lingkup nasional, negara yang
berdaulat diperlukan ada hubungan internasional atau hubungan bilateral. Agar
harkat dan martabat negara tersebut tidak dikucilkan oleh negara lain. Salah
satunya dengan aktif di organisasi internasional, misalnya PBB, KTT dan lain sebagainya. Sehingga pengimplementasian hukum dalam negara yang berdaulat
dapat terwujud.
Yogyakarta 20 Novwmber 2019