Founding Father Indonesia dalam merumuskan Pancasila serta Undang-undang Dasar kala itu, menggali dari keadaan masyarakat Indonesia yang dimiskinkan dan diperbudak oleh kapitalisme dan kolonialisme penjajah yang merampok bumi Indonesia. Sehingga arah perjuangan mereka yang diaktualisasikan dengan Pancasila serta Undang-undang Dasar untuk sampai pada tahap berdaulat dalam politik, berdikari dibidang ekonomi dan kepribadian dalam kebudayaan berjalan dengan baik.
Founding father juga merumuskan tujuan negara dengan sangat jelas, yang disebutkan dalam pembukaan Undang-undang Dasar yaitu menciptakan pemerintahan yang melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan negara yang luhur sepantasnya diaktualisasikan dalam tingkah laku pemerintah serta jajarannnya dalam penerapan kebijakan dengan hukum sebagai instrumen. Hukum sebagai instrumen akan cacat ketika para pembuat hukum dan pelaksana hukum adalah orang-orang yang tidak akuntabilitas dan tidak sesuai dengan yang diharapkan seperti yang tercermin dalam asas-asas pokok pemerintahan yang baik.
Kejanggalan Omnibus law
Pertama, Isu terbitnya Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), telah menimbulkan konflik baru dalam masyarakat, bukan hanya bagi buruh yang merasa jaminan serta haknya dilucuti seperti pemberlakuan Cuti dan istirahat, Upah, Pasangon, Jaminan Sosial, serta PHK yang kesemuanya di beberapa poinnya malah merugikan.
Bagi mahasiswa dan masyarakat luas yang merasa memilki kewajiban moral untuk menyuarakan pikiran serta isi hati merasa terdzolimi oleh Pemerintah serta DPR dalam proses pengesahannya yang dilakukannya pada tanggal 5 Oktober 2020, di suasa Covid-19 yang mestinya Pemerintah dan DPR mengutamakan kesehatan masyarakat bukan malah mengesahkan RUU Ciptaker yang urgensinya tidak ada.
Kemudian materi undang-undang yang dianggap lebih Pro pada investor sangat menyakiti masyarakat terdampak seperti buruh dan masyarakat adat nantinya, dalam Naskah Akademik RUU Ciptaker investasi dikembalikan ke teori pertumbuhan Solow-Swan pada tahun 50-an bahwa Investasi dipercaya sebagai faktor pertumbuhan, sedangkan di beberapa negara yang maju ekonominya menempatkan human capital dan inovasilah yang menjadi penentu pertumbuhan ekonomi, sangat disayangkan keadaaan ini terjadi di Indonesia.
Kedua, Indonesia mempunyai aturan pembuatan perundang-undangan yang telah diatur dalam UU No 12 tahun 2011, tapi yang banyak aturan dalam pasal tersebut tidak dipatuhi oleh Pemerintah dan DPR dalam proses penyusunan RUU Ciptaker, dari tahap penulisan naskah akademik hingga tahap pengesahan yang terjadi pada 5 Oktober 2020, kemaren. Walaupun RUU Ciptaker secara teori perundang-undangan menggunakan metode omnibus law yang tidak sama dengan yang dianut Indonesia tapi bukan serta merta Pemerintah dan DPR mengabaikan UU No 12 Tahun 2011 sebagai instrumen tersebut.
Dengan tidak tunduknya pemerintah terhadap UU No 12 tahun 2011, yang dulunya mereka sepakati Bersama menimbulkan prasangka bahwa kedua Lembaga tersebut sebenarnya tidak sungguh-sungguh menjalakan tugasnya yang diberikan oleh Undang-undang Dasar.
Ketiga, minimnya keterbukaan pemerintah atas yang sebenarnya terjadi dengan pengesahan undang-undang tersebut. Keadaan ini sangat dirasakan betul oleh kawan buruh, mahasiswa serta masyarakat luas ketika mereka menyampaikan aspirasi dimuka umum, atas pengesahan yang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR atas UU Ciptaker. Mengacu pada RUU yang baru disahkan, Jokowi malah menyatakan diketerangan Persnya menyebut “saya melihat adanya unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja yang dasarnya dilatar belakangi oleh disinformasi mengenai subtansi UU ini dan hoax di medsos”.
Sehingga kawan-kawan buruh, mahasiswa dan masyarakat merasa bingung, penyebar Hoax sebenarnya siapa di keterangan yang dipublikasikan di website Menko Perekonomian yang diupload pada 7 Mei 2020 RUU Ciptaker berisi 1028 halaman, kemudian informasi yang beredar pasca pengesahan pada 5 Oktober 2020 RUU Cipta kerja dengan ketebalan 905 Halaman. Menurut sekretaris Jenderal DPR Indra Iskandar yang dikutip di Media Indonesia menyebutkan bahwa RUU yang dalam paripurna adalah 905 Halaman kemudian setelah diperbaiki format, spasi serta hurufnya menjadi 1035 halaman. Kemudian dalam konfrensi yang dilakukan oleh DPR RI yang diwakili oleh M. Aziz syamsuddin pada tanggal 12 Oktober 2020 bahwa Undang-undang tersebut ternyata ada 812 halaman.
Dari sini sangat jelas ada ketidak sinkronan data RUU Ciptaker antara Pemerintah dan DPR dalam rangka menjelaskan pada publik atas informasi RUU Ciptaker. Pernyataan Jokowi atas Hoax yang terjadi di medsos menjadi blunder karena nyatanya pemerintah sendiri tidak jelas juga atas RUU Ciptaker yang sebenarnya.
Dari hal ini masihkah kita harus mendukung pemerintah untuk menerima RUU Ciptaker agar diterapkan di Indonesia sedangkan RUU ini sangat merugikan nasib buruh, serta mencederai kepercayaan mahasiswa serta masyarakat pada pemerintah dan DPR sebagai Lembaga yang diberikan kewenangan oleh Undang-undang Dasar untuk menciptakan kesejahteraan.
Moh ainul yakin
Divisi jurnalistik